ADAKAH SHALAT JUMAT DI KAPAL LAUT ATAU ANJUNGAN MINYAK DI TENGAH LAUT? [PENTING TERUTAMA BAGI PARA PEKERJA DI LAUT]

Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam, keluarga, para shahabat dan pengikut setia mereka sampai hari kiamat; Amma ba’du,
Pertanyaan pada judul tulisan ini perlu sekali untuk di cari jawabannya karena sangat penting dan berkaitan dengan ibadah yang prinsip. Namun, jawabannya harus ilmiyyah, yaitu tidak asal menjawab dan berfatwa, akan tetapi harus ada kitab rujukan dan ulama’nya agar supaya jelas dan pasti serta memuaskan dan tidak terjadi debat kusir yang tidak membawa faedah sedikitpun.
Sudah diketahui oleh siapa saja yang pernah belajar ilmu fiqih bahwasanya shalat Jum’at itu tidak sama dengan shalat lima waktu pada umumnya, karena shalat Jum’at mempunyai syarat sah dan syarat wajib yang harus terpenuhi yang menjadikan seseorang wajib shalat Jum’at dan menjadikan sah shalat Jum’atnya.
Syarat wajib adalah syarat yang menjadikan seseorang wajib shalat Jum’at dan apabila tidak terdapat maka tidak wajib shalat Jum’at.
Syarat sah adalah syarat yang menjadikan shalat Jum’at seseorang itu sah dan apabila tidak terdapat maka shalat Jum’atnya tidak sah.
Diantara syarat wajib dan syarat sahnya Jum’at adalah menetap di perkotaan atau pedesaan atau perkampungan [maksudnya di darat, bukan di laut], karena inilah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam dan para sahabat Beliau Radhiyallahu ‘Anhum.
Menetap di perkotaan atau pedesaan atau perkampungan [maksudnya di darat, bukan di laut] adalah syarat wajib dan syarat sahnya Jum’at yang telah disepakati oleh semua ulama dari empat madzhab, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama tentang hal ini.
Dari sini jelas bahwasanya seseorang yang berada atau bekerja di laut, seperti para pelayar atau para pekerja di anjungan minyak tengah laut tidak memenuhi syarat ini walaupun mereka berada di laut dalam jangka waktu cukup lama, yaitu mereka tidak memenuhi syarat wajib dan juga syarat sah shalat Jum’at sehingga mereka tidak wajib shalat Jum’at dan kalaupun shalat Jum’at maka shalat Jum’atnya tidak sah. Dalam kasus ini mereka wajib shalat Dhuhur dan bukan shalat Jum’at.
Kasus seperti ini pernah ditanyakan kepada para ulama yang berkompeten dan bisa dipertanggungjawabkan fatwa mereka dan jawaban mereka adalah seperti yang telah disebutkan tentang tidak wajib dan tidak sahnya shalat Jum’at mereka.
Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah Lilbuhuts Al-Ilmiyyah Wal Iftaa’ [Komite Tetap Untuk Pembahasan Ilmiyyah dan Fatwa] pernah di tanya tentang kasus serupa, yaitu tentang para pekerja di anjungan minyak ARAMCO yang berada di tengah laut dan mereka bekerja di sana selama lima belas hari secara bergantian apakah sah shalat Jum’at mereka di anjungan minyak tersebut ataukah diganti dengan shalat Dhuhur?
Jawabannya:
“Sesungguhnya kalian bukanlah penduduk yang tinggal menetap dan bukan pula tinggal bersama penduduk yang menetap, akan tetapi kalian bekerja jauh dari masyarakat, yaitu berada di tengah laut selama lima belas hari, maka yang wajib atas kalian adalah shalat Dhuhur selama waktu tersebut dan tidak ada shalat Jum’at.”
Ini adalah fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lilbuhuts Al-Ilmiyyah Wal Iftaa’ [Komite Tetap Untuk Pembahasan Ilmiyyah dan Fatwa] dengan nomer (6113) dan ditanda tangani oleh ketuanya Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz, wakil ketua Fadhilatusy Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, anggota Fadhilatusy Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan anggota Fadhilatusy Syaikh Abdullah bin Qu’ud.
Adapula pertanyaan yang pernah di ajukan oleh pihak Angkatan Laut KSA tentang pasukan yang sedang bekerja di tengah laut, yaitu di kapal laut yang cukup besar sehingga bisa menampung sampai seratus lima puluh orang, apakah ada shalat Jum’at bagi mereka ketika mereka  sedang bertugas di laut?
Jawabannya:
“Orang-orang yang bekerja di laut dari kalangan para tentara yang sedang berada di kapal laut, bagi mereka tidak ada shalat Jum’at karena mereka bukan penduduk yang tinggal menetap disana seperti penduduk pedesaan dan perkotaan.”
Ini adalah fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lilbuhuts Al-Ilmiyyah Wal Iftaa’ [Komite Tetap Untuk Pembahasan Ilmiyyah dan Fatwa] dengan nomer (14616) dan ditanda tangani oleh ketuanya Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz, wakil ketua Fadhilatusy Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, anggota Fadhilatusy Syaikh Abdullah bin Ghudayyan.
Demikianlah jawaban para ulama ahli fatwa yang keilmuannya diakui oleh kaum muslimin di seluruh dunia dan fatwa-fatwa mereka dijadikan panutan di dunia internasional.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia pada sidang tanggal 10 Pebruari 1976 pernah membahas masalah ini, yaitu masalah ‘Shalat Jum’at Bagi Musafir di Kapal’, dan mereka [Komisi Fatwa MUI] ternyata kemudian membelokkan pembahasan dan permasalahannya menjadi ‘Shalat Jum’at Bagi Musafir’ dan sama sekali tidak menyinggung ataupun menukil fatwa para ulama tentang hukum shalat Jum’at di kapal padahal permasalahan yang sebenarnya adalah shalat Jum’at di kapal dan bukan shalat Jum’at bagi musafir, sehingga kesimpulan yang mereka tetapkan adalah kesimpulan tentang hukum shalat Jum’at bagi musafir. Karena itu kami berharap dari pihak Komisi Fatwa MUI untuk melihat dan memperhatikan kembali fatwa yang telah lama tersebut dengan mengkaji kembali permasalahan yang sebenarnya dan dengan mempertimbangkan fatwa-fatwa dari para ulama dunia internasional.
Demikianlah tulisan yang sederhana ini kami persembahkan untuk saudara-saudara kami yang bekerja di laut, harapan kami semoga bisa memberikan kontribusi dan masukan agar supaya ibadah kita menjadi baik, benar dan sah berdasarkan ilmu yang bisa dipertanggungjawabkan.
Mungkin sebagian teman akan kaget dengan pembahasan ini karena baru mendengarnya dan karena sudah terbiasa shalat Jum’at di kapal laut atau di anjungan minyak di tengah laut. Karena itu, kami menyarankan kepada teman-teman semua untuk mengkaji lagi masalah ini dengan mempelajarinya dan menanyakannya kepada para ulama secara ilmiyyah dengan memakai rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan dan bukan asal berpendapat atau asal berfatwa, mengingat permasalahan ini cukup prinsip karena berkaitan dengan sah atau tidaknya shalat Jum’at kita.
Harapan kami adalah kita kaji kembali masalah shalat Jum’at di kapal laut atau anjungan minyak tengah laut ini dengan pengkajian dan pembahsan ilmiyyah, yaitu dengan menyebutkan nama kitab, nama ulama, nomer fatwa dan semisalnya yang kita jadikan sebagai rujukan kita sehingga pembahasan dan pengkajian ini bisa dipertanggungjawabkan dan berbobot secara ilmiyyah serta memuaskan. Bukan asal berpendapat atau berfatwa.
Perlu kami ingatkan sekali lagi, bahwa pembahasan kita adalah tentang hukum shalat Jum’at di kapal laut atau anjungan minyak tengah laut, dan bukan hukum shalat Jum’at bagi musafir, karena keduanya adalah dua masalah yang berbeda dan keduanya mempunyai jawabannya masing-masing.
Semoga Allah menjadikan kita semua selalu berlapang dada dan mudah menerima kebenaran yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta fatwa-fatwa para ulama yang jelas dan terang benderang walau hal itu terasa baru dan asing bagi kita karena kedangkalan ilmu kita.
Semoga Jelas dan Bermanfaat.
Abdullah Shaleh Hadrami
Anjungan Minyak Chevron
West Seno Lepas Pantai Makassar
Jum’at 23 Jumadats Tsaniyah 1432 H /
27 Mei 2011
Sumber: Facebook Abdullah Sholeh Hadrami

0 Response to "ADAKAH SHALAT JUMAT DI KAPAL LAUT ATAU ANJUNGAN MINYAK DI TENGAH LAUT? [PENTING TERUTAMA BAGI PARA PEKERJA DI LAUT]"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme